-->

Melakukan Kebaikan, Bukankah Seharusnya Dilakukan Tanpa Syarat?

Advertisement
Sejatinya Melakukan Kebaikan Bersumber Dari Dorongan di Dalam Hati, Maka Dampaknya Akan Kembali ke Hati - Apa yang Anda rasakan, bila dalam keadaan susah, datang seseorang yang mau melakukan kebaikan untuk menolong kita? Senang bukan? Namun, bagaimana bila ternyata kebaikan yang dilakukan si penolong berbuntut pada pamrih tertentu, seperti meminta bayaran?
Melakukan Kebaikan, Bukankah Seharusnya Dilakukan Tanpa Syarat?
Melakukan Kebaikan Tanpa Syarat
Pada keadaan berbeda, apa yang akan Anda lakukan ketika sedang berkendara dan melihat seseorang dengan perangai buruk dan ugal-ugalan saat mengendarai motor, tiba-tiba saja terjatuh dan membutuhkan pertolongan? Menghentikan kendaraan Anda untuk langsung menolong, atau?

Di situasi yang lain lagi, apa yang akan muncul di benak Anda bila melihat tayangan berita di televisi yang memberitakan tentang seorang pengemis tua yang hidup di jalan dengan gerobak, diketahui kedapatan memiliki uang sebanyak 90 juta rupiah? Lantas, apa yang Anda lakukan bila pada hari yang sama, Anda menjumpai pengemis berbeda dan juga hidup di jalan dengan gerobak, mengemis dengan menengadahkan tangannya kepada Anda?

Melakukan kebaikan, hampir tak ada satu pun orang orang di dunia yang tak menyukainya, terdengar merdu di telinga, sedap dipandang mata dan menentramkan hati. Namun, bila melihat beberapa contoh keadaan di atas, maka mungkin saja melakukan kebaikan alias berbuat baik bisa menjadi perkara yang berat untuk dilakukan. Tak dapat dipungkiri, hubungan sebab akibat dalam kehidupan kita sehari-hari sangat besar memengaruhi perilaku, khususnya untuk melakukan kebaikan terhadap orang lain. Seperti hukum tak tertulis, melakukan kebaikan hanya akan dilakukan pada orang-orang yang baik, dan tidak pada orang-orang dengan perilaku sebaliknya.

Namun, pernahkah terpikirkan oleh kita, bagaimana mungkin kebaikan bisa dikatakan hal yang baik, bila dalam melakukannya kita justru memilih-milih siapa yang pantas mendapatkan kebaikan dari diri kita, dan memunggungi mereka yang tak pantas? Bagaimana mungkin kebaikan bisa dikatakan hal baik, bila dalam melakukannya kita justru menimbang-nimbang untung ruginya? Sekali lagi, bagaimana mungkin kebaikan bisa dikatakan hal baik, bila dalam melakukannya kita harus menunggu orang lain untuk berbuat baik terlebih dahulu pada kita? Bukankah kebaikan seharusnya dilakukan tanpa syarat?


Melalui artikel singkat dan sederhana ini, maka ada baiknya kita renungkan dan cermati kembali, apakah kita telah melakukan kebaikan yang sebenarnya, atau mungkin selama ini kita telah berbuat kebaikan berlabel syarat dan ketentuan yang berlaku. Lantas, bagaimana bisa mengenali kebaikan sebenarnya? Mudah saja, sejatinya melakukan kebaikan bersumber dari dorongan di dalam hati, maka dampaknya akan kembali ke hati, berupa ketenteraman dan kebahagiaan, bila hal tersebut tak kita rasakan, maka mungkin saja kebaikan kita telah terhalang syarat.
Advertisement
LihatTutupKomentar